Rabu, 25 September 2019

Cerpen Absurd Tentang Sahabat


Suara gemercik air mulai terdengar, membangunkan seisi rumah. Adzan subuh berkumandang menandakan waktu shalat  telah tiba. Perlahan ku buka mata dan melihat sekeliling ruangan, beranjak dari singgasanaku , membasuh seluruh tubuh. Tak lupa ku dirikan kewajibanku pagi itu. Suara demi suara di pagi itu sudah terdengar sedikit lebih nyaring menandakan Ibu sedang memasak untuk kami sarapan. Waktupun menunjukan pukul 06:15 WIB, dimana aku harus segera berangkat sekolah.
Masa putih abu-abu memang masa yang sangat menyenangkan, namun sayang tinggal beberapa bulan lagi aku harus melepas masa itu. Nama ku Clara Arnesya, dipanggil Ara, kata orang-orang si biar simple dan mudah di ingat namanya. Sekarang aku duduk dikelas XII IPA 2, kursi kanan barisan 2, anak kedua dari 2 bersaudara, punya teman baik (sahabat) cuma 2, dikelas rangking ke 2. Semua berhubungan dengan angka 2, dan gak tau kenapa suka aja dengan angka 2. Tapi beruntungnya nilai Matematika ku bukan 2, kalo iya sampe 2 abis lah pasti kena marah orang tua.
Nama sahabat ku yang pertama Nova Firly, di panggil Firly tapi berhubung aku gak bisa bilang huruf ‘R’ aku panggil dia Ily, yang hobinya cerita gak jelas. Dan sahabat ku yang kedua namanya Mentari, hobinya dia itu mengabadikan momen (memotret).
“Hm…ngapain si pagi-pagi udah bengong.” sapa Ily tanpa permisi.
“Gak ngapa-ngapin ko, cuma lagi mikir aja kenapa akhir-akhir ini Tari cuek banget sama aku.”
“Mikirnya nanti aja deh, aku belum ngerjain PR nihh.”
“Kebiasaan banget, ngerjain PR tuhh ya di rumah bukan di sekolah.”
Tanpa mendengarkan kalimat akhir ku Ily langsung mengambil tas dan buku ku. Dia  sebenarnya anak yang pintar, hanya saja rasa malasnya itu lebih dominan dibanding rajinnya.
“Brugggg!”
Suara buku berjatuhan, ternyata buku yang jatuh itu milik Tari.
“Kenapa Ri?” tanyaku.
“Gak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ketusnya.
Hati ku mencelos mendengar perkataan sahabatku seperti itu, sudah dua tahun kita berteman dan ini adalah kemarahan pertamanya yang sangat amat dasyat bagiku. Biasanya marah pun tak sampe berhari-hari seperti ini, paling lama satu atau dua jam dan itu bisa dibilang wajar dalam persahabatan.
Hari-hari terus saja berlalu, Tari tetap saja marah dan tak ingin memberikan alasan tentang kemarahannya kepadaku. Suatu ketika aku mendengar teman kelas ku sedang berkumpul di kantin dan menyebutkan nama Tari dalam perbincangannya, aku pun mengamatinya dalam jarak yang cukup dekat karena rasa penasaran apa yang mereka bicarakan sampai menyebut nama sahabat ku itu.
“Guys, ada berita baru nih. Si Tari sekarang udah benci si Ara.” Kata Nessa.
“Ko bisa gitu si, padahalkan mereka akrab banget udah kaya adek sama kakak
.” jawab Reva.
“Ya bisalah, kan aku yang pengaruhin si Tari biar benci si Ara. Abisnya aku kesel banget sama si Ara dia tuh orang so alim banget, so pinter, so bijak pokoknya gitu dehh.” Kata Nessa.
“Segitunya banget, sampe ngancurin persahabatan orang.” Kata Ayu.
Setelah mendengar pengakuan Nessa, aku segera berlari mencari kedua sahabatku itu terutama Tari aku ingin menjelaskan apa yang baru saja aku dengar dari mulut Nessa.
“Tari!” Teriak ku ketika melihatnya. Aku segera menjelaskan apa yang aku dengar saat berada di kantin tadi.
Melihat ekspresi Tari tersenyum, aku yakin dia kembali seperti semula. Dan semua kisah yang kami rajut selama ini tidak berakhir sia-sia.
Bel pulang pun berbunyi, kami semua berhamburan keluar menuju rumah masing-masing. Aku kembali pulang dengan dua sahabat ku seperti hari-hari biasanya meskipun di persimpangan jalan kami berpisah karena jalan yang berbeda.
Sore itu ketika aku baru sampai rumah, ada kabar yang tak mengenakan hati. Tari sababat baiku dia meninggal dunia. Dia tertabrak sebuah mobil yang tak bertanggung jawab karena ugal-ugalan.


@menuliskreatif.rgi | Cerpen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar