Suara
gemercik air mulai terdengar, membangunkan seisi rumah. Adzan subuh
berkumandang menandakan waktu shalat
telah tiba. Perlahan ku buka mata dan melihat sekeliling ruangan,
beranjak dari singgasanaku , membasuh seluruh tubuh. Tak lupa ku dirikan
kewajibanku pagi itu. Suara demi suara di pagi itu sudah terdengar sedikit
lebih nyaring menandakan Ibu sedang memasak untuk kami sarapan. Waktupun
menunjukan pukul 06:15 WIB, dimana aku harus segera berangkat sekolah.
Masa
putih abu-abu memang masa yang sangat menyenangkan, namun sayang tinggal
beberapa bulan lagi aku harus melepas masa itu. Nama ku Clara Arnesya,
dipanggil Ara, kata orang-orang si biar simple dan mudah di ingat namanya.
Sekarang aku duduk dikelas XII IPA 2, kursi kanan barisan 2, anak kedua dari 2
bersaudara, punya teman baik (sahabat) cuma 2, dikelas rangking ke 2. Semua
berhubungan dengan angka 2, dan gak tau kenapa suka aja dengan angka 2. Tapi
beruntungnya nilai Matematika ku bukan 2, kalo iya sampe 2 abis lah pasti kena
marah orang tua.
Nama
sahabat ku yang pertama Nova Firly, di panggil Firly tapi berhubung aku gak
bisa bilang huruf ‘R’ aku panggil dia Ily, yang hobinya cerita gak jelas. Dan
sahabat ku yang kedua namanya Mentari, hobinya dia itu mengabadikan momen
(memotret).
“Hm…ngapain
si pagi-pagi udah bengong.” sapa Ily tanpa permisi.
“Gak
ngapa-ngapin ko, cuma lagi mikir aja kenapa akhir-akhir ini Tari cuek banget
sama aku.”
“Mikirnya
nanti aja deh, aku belum ngerjain PR nihh.”
“Kebiasaan
banget, ngerjain PR tuhh ya di rumah bukan di sekolah.”
Tanpa
mendengarkan kalimat akhir ku Ily langsung mengambil tas dan buku ku. Dia sebenarnya anak yang pintar, hanya saja rasa
malasnya itu lebih dominan dibanding rajinnya.
“Brugggg!”
Suara
buku berjatuhan, ternyata buku yang jatuh itu milik Tari.
“Kenapa
Ri?” tanyaku.
“Gak
ada yang perlu dikhawatirkan.” Ketusnya.
Hati
ku mencelos mendengar perkataan sahabatku seperti itu, sudah dua tahun kita
berteman dan ini adalah kemarahan pertamanya yang sangat amat dasyat bagiku.
Biasanya marah pun tak sampe berhari-hari seperti ini, paling lama satu atau
dua jam dan itu bisa dibilang wajar dalam persahabatan.
Hari-hari
terus saja berlalu, Tari tetap saja marah dan tak ingin memberikan alasan
tentang kemarahannya kepadaku. Suatu ketika aku mendengar teman kelas ku sedang
berkumpul di kantin dan menyebutkan nama Tari dalam perbincangannya, aku pun
mengamatinya dalam jarak yang cukup dekat karena rasa penasaran apa yang mereka
bicarakan sampai menyebut nama sahabat ku itu.
“Guys,
ada berita baru nih. Si Tari sekarang udah benci si Ara.” Kata Nessa.
“Ko
bisa gitu si, padahalkan mereka akrab banget udah kaya adek sama kakak
.”
jawab Reva.
“Ya
bisalah, kan aku yang pengaruhin si Tari biar benci si Ara. Abisnya aku kesel
banget sama si Ara dia tuh orang so alim banget, so pinter, so bijak pokoknya
gitu dehh.” Kata Nessa.
“Segitunya
banget, sampe ngancurin persahabatan orang.” Kata Ayu.
Setelah
mendengar pengakuan Nessa, aku segera berlari mencari kedua sahabatku itu
terutama Tari aku ingin menjelaskan apa yang baru saja aku dengar dari mulut
Nessa.
“Tari!”
Teriak ku ketika melihatnya. Aku segera menjelaskan apa yang aku dengar saat
berada di kantin tadi.
Melihat ekspresi Tari tersenyum, aku yakin dia kembali seperti semula. Dan semua kisah yang kami rajut selama ini tidak berakhir sia-sia.
Melihat ekspresi Tari tersenyum, aku yakin dia kembali seperti semula. Dan semua kisah yang kami rajut selama ini tidak berakhir sia-sia.
Bel
pulang pun berbunyi, kami semua berhamburan keluar menuju rumah masing-masing.
Aku kembali pulang dengan dua sahabat ku seperti hari-hari biasanya meskipun di
persimpangan jalan kami berpisah karena jalan yang berbeda.
Sore
itu ketika aku baru sampai rumah, ada kabar yang tak mengenakan hati. Tari
sababat baiku dia meninggal dunia. Dia tertabrak sebuah mobil yang tak
bertanggung jawab karena ugal-ugalan.
@menuliskreatif.rgi | Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar